Entri Populer

Rabu, 22 Desember 2010

Pemberontakan Nietzsche terhadap Tuhan

Judul Buku       : Nietzche Sudah Mati
Penulis             :Ahmad Santosa
Penerbit          : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan           : 2009
Tebal               : 284 halaman

Berawal dari dari pandangan masyarakat Yunani kuno mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta (kosmogonis), hingga sampai titik rasionalitas dan sufistik, filsafat menjadi berkembang sampai kepenjuru dunia. Bagi orang Yunani filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Sehingga pada taraf “rasio” filsfat menjadi tempat untuk mencari hakikat kebenaran.
Dari mencari kebenaran itulah flsafat dari jaman yunani sampai pada abad modern berkembang dan menjadi suatu kajian ilmiah dalam akademisi. Jika dikontekskan di Indonesia, filsafat saat ini berada pada puncak kejayaan. Itu terbukti dengan banyaknya buku-buku filsafat barat yang diterjemahan dalam bahasa Indonesia. Dengan cara  memotret perjalanan filsafat barat, baik dalam gaya kehidupan, sejarah, ekonomi, agama, perdebatan pikiran dan lain-lain. Seterusnya,  pemahaman itu dituangkan dalam pengetahuan umum, yang terkadang menjebak dan mengaburkan pandangan kita sendiri.  Sehingga fenomena yang terjadi, banyak pemikir Indonesia menjadikan pemikiran barat untuk diterapakan dalam etika, moral, metodologi dan sikap. Ironis tidak? Padahal sebagian besar tidak relevan dengan kondisi kita.
Dalam hal itu, Akhmad Santosa menuangkan kegelisahannya dalam buku berjudul “Nietzsche Sudah Mati“, untuk memberikan sikap kritis dan perbandingan serta fasilitator untuk memahami dan menelaah filsafafat barat, lebih spesifik filsafat Nietzsche.
Nietzsche adalah filusuf jerman yang penuh dengan kontroversial. Tiap bait-bait karya tulisannya mencerminkan keanehannya dan berbeda dari yang lain. Apabila dalam membaca karyanya tidak mempunyai dasar, maka pengetahuan yang sudah menjadi umum akan hilang dengan sendirinya. Itulah mengapa Akhmad Santosa dalam bukunya, khusus membahas Nietzsche.
Filsafat yang dikembangkan Nietzsche adalah tentang nihilisme, kehendak tuk berkuasa (will to power, der willw zur macht, atau machtgelust), adimanusia (Ubermensch, Superman), perulangan abadi (eternal resourch, ewige Wiedermen des Gleiches), dan lain-lain. Nietzsche lahir dan dibesarkan dalam lingkungan agamawan yakni Protestan Lutheran Jerman. Melihat latar belakangnya, sangatlah aneh kenapa seorang neitzsche meneriakkan “ kematian“ Tuhan!. Sehingga dari pernyataan kontroversial itulah, Nietzsche dikatakan seorang ateis.
Sejatinya Nietczsche bukan seorang ateis, karena walaupun dia mengutuk keberadaan Tuhan. Tapi dia tetap menjalankan aturan-aturan moral dari sebuah agama. Dia menganggap bahwa aturan-aturan moral itu memiliki nilai baik sendiri yang tidak memerlukan pembenaran atau jaminan yang lebih tinggi dari manusia, yaitu jika aturan religius itu mempunyai fungsi higienis atau psikologis yang ia anggap menguntungkan dirinya. Berdasarkan itu, maka Nietzsche bukanlah seorang ateis.
Sehingga umpatan “ateis“ ini, kurang tepat. Dalam artian bahwa Nietzsche bukan ateis konvensional, namun Nietzsche memang tidak sedikitpun menberikan pujian bagi kehidupan agama.
Penulis mengatakan mengenai pernyataan Nietzsche tentang “kematian“ Tuhan, ialah bahwa kematian dalm hal itu adalah ketidak mampuan manusia untuk menjalankan norma-norma agama. Karena manusia di tengah-tengah situasi modern di tuntut untuk selalu memperhatikan nilai-nilai materealistik, sehingga pada satu titik, manusia sadar bahwa dia sudah terlanjur larut dalam materialisme dan tidak dapat lagi menpercayai Tuhan.
Argumen kedua Yang bisa di ajukan, Yaitu bahwa kematian Tuhan ini adalah lambang runtuhnya sebuah tatanan nilai yang jauh dari kehidupan orang banyak. Hal yang cukup menarik dalam buku ini, adanya silang pendapat antara penulis dengan St. Sunardi. Menurut St. Sunardi, Nietzsche dengan pernyataan “kematian“ Tuhan, dia ingin mengidentifikasikan diri sebagai orang gila. Dan ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan kemapanannya.
Sedangkan menurut penulis, penafsiran itu meleset. Karena dalam kajiannya dia melihat dari konstruk pemikiran keindonesian. Nietzsche telah berani melakukan sesuatu hal yang tabu, yaitu  mengatakan Tuhan telah mati. Orang yang seperti itu akan langsung di tolak, dianggap tidak berhak berbicara bahkan wajib dibunuh, seperti yang terjadi pada Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar.
Lebih lanjut penulis memberikan penjelasan bahwa orang-orang beragama itu mengalami kegamangan setelah melihat bahwa di zaman modern, nilai-nilai religius yang dianut semakin hari semakin di lecehkan demi kepentingan ekonomi politik, terutama di Indonesia. Sehingga apabila ada orang yang secara terang-terangan mengatakan hal aneh dan kontroversial, maka dia akan di cap sebagai musuh dan orang gila.
Selain penulis silang pendapat dengan tesis St. Sunardi. Dalam buku ini juga tercatat kritikan terhadap penulis, dari seorang dosen filsafat Driyakarya, alumni Universitas paris I, Pantheon Sorbone, yaitu A. Setyo Wibowo, SJ. Klaim dramatis tampak dari judul “Nietzsche Sudah Mati“ ini, tapi sayangnya tidak disertai perhatiaan yang cukup kepada para pemikir tentang Nietzsche dalam bahasa Indonesia. Serta yang paling mengagetkan adalah tidak didukungnya biografi yang memadai (selain teks-teks Nietzsche sendiri, hanya ada tujuh buku acuan, itupun cuman dua yang menbahas Nietzsche.
Penbahasan yang emosional menganggap pemikiran Nietzsche di setir oleh kekecewaan dan kemuakan, membuat dosen itu gerah menbaca karya penulis. Tapi satu hal yang dapat saya tangkap bahwa keberanian penulis dalam mengkritisi filusuf-filusuf Indonesia yang selalu ramah dan rendah diri terhadap pemikir barat, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Karena keberanian itu bisa menunjukkan kepada pemikir luar bahwa para pemikir Indonesia kritis dan tegas. Semangat itulah yang mesti tertanam dalam jiwa pemikir Indonesia, agar tidak di pandang remeh oleh pemikir luar.
Buku ini cukup sederhana pemaparannya, sehingga mudah di pahami. Dan  merupakan jawaban atas beberapa pernyataan Nietzsche, sehingga manfaatnya kita bisa tahu bahwa setiap bait-bait pernyataan Nietzsche menpunyai sebuah teka-teki yang harus dikaji dan dileti secara konperehensif, agar kita tidak terjebak dengan pemahaman yang belum terbukti kebenarannya.
Kebenaran adalah hal yang relatif, artinya setiap orang menmpunyai takaran masing-masing ukuran kebenaran itu. Jadi dalam menbaca buku ini di perlukan sikap kritis agar tidak terjebak dari gaya penulisan. Dan di sarankan agar menbaca buku-buku yang lain agar menjadi bahan pertimbangan. Karena pemikiran Nietzsche tidak sistematik. Alasannya bukan dia tidak manpu berpikir secara runtun sebagai seorang filusuf, tapi benih-benih pemikiran awalnya selalu di tambah, dilengkapi, dan di kuatkan dengan pemikiran-pemikiran terbarunya.

Rabu, 08 Desember 2010

Ancaman PLTN Bagi Bumi Manusia

Berawal dari  catatan sejarah masa silam yang begitu pahit dan mengenaskan. Yaitu fenomena meledaknya PLTN (Pembangkit Listik Tenaga Nuklir) di Ukraina pada tanggal 26 Apri 1985, yang terkenal dengan tragedi Chernobyl. Tragedi ini merupakan malapetaka yang menelan korban ratusan jiwa tak berdosa meninggal. Walaupun ada yang selamat, hal ini berpotensi terkena racun berbahaya yang menular, di sebabkan gas radioaktif  yang meledak mengandung bahan kimia beracun. Pada saat itu ratusan orang di evakuasi dari kota-kota sekitar. Sehingga tanggal 26 April dijadikan sebagai hari peringatan mengenang korban meledaknya PLTN di Ukraina. Singkatnya tragedi Chernobyl  merupakan tragedi  dunia yang  tidak harus terulang.

Belajar pada Sejarah
Sejarah buruk yang terjadi di Negara lain, yang meniwaskan jutaan korban, merupakan suatu bahan kontemplasi (perenungan) jika Indonesia menpunyai rancangan program penbangunanan PLTN. Baik dan buruknya PLTN, menjadi renungan panjang yang harus di dahulukan. Dalam artian lebih besar mana antara manfaat dan efek negatif yang di hasilakan.

Pernyataan  presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama dalam beberapa kesempatan kemarin, terkait persoalan senjata nuklir, mengatakan akan mengurangi ekspansi nuklir ke negara-negara luar. Alasannya adalah menbahayakan terhadap keberlangsungan bumi manusia. Terkecuali dalam kondisi tertentu. Hal Ini menbuktikan  bahwa bumi saat ini berada dalam fase krisis, sehingga menbutuhkan perawatan dan perlindungan dari bahaya yang mengancam dan mencemarkan kondisi bumi. Seperti nuklir dan bahan kimia lainnya, sehingga munculah gagasan “dunia bebas nuklir”.

Beberapa isu yang bergulir dimedia massa, menberitakan bahwa pemerintah Indonesia akan merencanakan penbangunan PLTN di beberapa daerah yang tersebar di Nusantara: Bangkalan Madura, Jepara dan Bangkablitung. Sehingga tanggal 26 April 2010 lalu, mahasiswa dan elemen masyarakat melakukan aksi demonstransi dalam rangka menulak perencanaan tersebut. Kondisi ini pernah terjadi pada Tahun 2007 di Kabupaten Jepara, masyarakat dan pemuda melakukan unjuk rasa menulak terhadap kebijakan pemerintah, yang merencanakan penbangunan PLTN tersebut.

Bumi Indonesia yang khas dengan kekayaan alam yang melimpah, merupakan representatif sebuah Negara yang makmur dengan hasil buminya. Andaikata PLTN menjadi nyata di Indonesia, besar kemungkinan, nama Indonesia yang terkenal dengan kelimpahan hasil alamnya akan  menjadi kenangan dan berubah menjadi racun penyakit yang menbahayakan, disebabkan pencemaran nuklir.

Kondisi Kebangsaan
Adalah suatu keniscayaan jika melihat pada manfaat yang di hasilkan dari PLTN tersebut. Tetapi, tepatkah kebijakan tersebut, jika di di negara berkembang, seperti di Indonesia?.

Di tengah-tengah proses perbaikan stabilitas ekonomi dalam Negeri. Program pro-rakyat yang menjadi acuan dalam setiap kebijakan, agar kesejahteraan masyarakat segera terjawab, merupakan gagasan ideal  pemerintah yang efektif. Namun kenyataannya, idealitas itu hanya menjadi wacana tanpa bukti.

Indeks kemiskinan tiap tahun semakin bertambah. Disetiap daerah di Indonesia masih menyebar pengangguran yang tidak terwadahi. Pendidikan semakin sulit dijangkau oleh kalangan kaum miskin. Dan baru kemarin tanggal 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan penbatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BUHP). Penbatalan UU tersebut dinilai, karena beberapa isi dari UU tersebut mengacu terhadap proses kapitalisme dan komersialisasi pendidikan. Belum lagi persoalan konflik politik dan hukum yang melanda Negeri ini. Kasus Bank Century yang memakan uang rakyat 6,7 trilyun, sampai detik ini, belum di ketahui secara pasti siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab. Korupsi dan mafia hukum masih menjadi polemik yang menakutkan bagi bangsa. Arah hukum semakin kabur dan jauh dari esensi hukum yang sebenarnya (menegakkan keadilan). Sehingga dalam keterpurukan ini, masih tepatkah program penbangunan PLTN di bumi Nusantara ini?

Mengacu pada kondisi terebut, rasanya program ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah. Sebab, hal ini akan menentukan nasib bumi serta masa depan bangsa kedepan. Pemerintah terkesan mementingkan pihak industri modern, ketimbang menperbaiki kondisi kesejahteran sosial masyarakat.

Sejarah dunia telah mencatat, kejadian di Ukraina merupakan suatu kesalahan karyawan, diakibatkan tidak professional dalam menjalankan Listrik Tenaga Nuklir (LTN). Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia saat ini, belum mampu bersaing dalam tenaga kerja Internasional. Sehingga pemerintah lebih pro-aktif dalam meningkatkan kualitas SDM masyarakat, jika hendak bersaing dalam level internasioanal. Sebab pondasi awal dalam masyarakat, adalah pengetahuan yang mapan. Konkritnya, penbangunan PLTN saat ini, merupakan alternatif yang kurang tepat bagi Indonesia, baik: ditinjau dari segi internal maupun eksternal.

Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis, Ada beberapa program yang perlu ditingkatkan dan di perhatikan. Pertama, Pemerintah dalam hubungan internasional (tarakat), setiap mengambil kebijakan lebih mendahulukan kabaikan yang bersifat, ketimbang kebaikan yang bersifat sesaat. Artinya, efek negatif kedepan terhadap Indonesia, secara aspek politik, budaya, ekonomi, geografis, terutama efek langsung kepada masyarakat, perlu dipertimbangkan. Kedua, problematika kebangsaan yang semakin polemik dan dinamik  perlu dilakukan adanya penyelesaian yang progresif. Dan diperioritaskan. Ketiga, kepentingan bersama menjadi kerangka dasar dalam setiap kebijakan. Fenomena mementingkan kaum elit atau kelompok tertentu, segera dihapus dalam budaya kepemimpinan Indonesia.

Selasa, 07 Desember 2010

Refleksi 101 Hari Kebangkitan Nasioanal: Menpertegas Peran Pemuda Sebagai Generasi Bangsa


Kolonialisasi pada dasarnya merupakan suatu sistem pemerasan yang dilakukan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Baik dibidang politik, budaya, sosial dan ekonomi. Gerakannya  meliputi bentuk ekspansi yang mengarah terhadap penindasan. Hal ini pernah dirasakan Indonesia pra kemerdekaan abad ke-19. Kondisi saat itu, rakyat Indonesia tertindas secara fisik maupun moral. Kaum pribumi, mendapatkan perlakuan secara sepihak. Kebebasan mereka diatur oleh kaum kolonial.

Salah satu konsep politik yang diterapkan kaum klonial adalah politik “devide et impera”. Konsep ini merupakan salah satu cara agar masyarakat pribumi terjajah dan terbelakang secara pendidikan. Akhirnya masyarakat Indonesia hanya menpunyai mental pekerja yang tidak menpunyai arti. Terbukti dengan dijadikannya mereka sebagai kaum buruh dan budak kaum klonial. Sehingga kesengsaraan masyarakat Indonesia pada saat itu, memuncak dan penuh kesedihan.

Seiring berjalannya waktu, pada pergantian abad ke-19. Masyarakat Indonesia perlahan mulai sadar dan bertekad untuk melawan. Kritik-kritik dilontarkan terhadap penjajah Belanda, terutama menyangkut nasib rakyat Indonesia yang sangat menderita. Impian mereka mulai terangkai bahwa Indonesia harus menjadi bangsa yang besar dan bebas dari kaum penjajah. Pengorganisasian masyarakat mulai dilakukan, walau masih bersifat lokal dan kecil. Keberaniaan untuk menberontak mulai tumbuh seiring lahirnya organisasi kemasyarakatan.

Sehingga, pada tanggal 20 Mei tahun 1908 dibentuklah organisasi modern pertama dikalangan bangsa Indonesia, yang diprakarsai oleh pemuda dan diberi nama gerakan Boedi Oetomo. Orientasi kaum pemuda tersebut menginginkan kemajuan yang selaras terhadap negeri dan bangsa Indonesia, dan dikenal dengan nama Kebangkitan Nasional.

Setelah melakukan pengorganisasian masyarakat di berbagai daerah Indonesia, terwujudlah kongres yang merumuskan sebuah program spesifik terhadap kemajuan bangsa, pada tanggal 5 oktober di Yogyakarta. Yaitu proses pendidikan kepada masyarakat diberbagai sektor, mulai dari pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan kebudayan Indonesia. Mereka (baca pemuda)  mengawali gerakannya dengan menberikan pelajaran melalui pendidikan kepada masyarakat.

Dalam 5 tahun permulaan, organisasi ini berkembang pesat dan mempunyai cabang-cabang diberbagai daerah. Di samping itu, para mahasiswa yang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelschool  di Rotterdam mendirikan Indische Verrninging, yang kemudian berubah menjadi Indonesche Vereeninging tahun 1922, untuk menyesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik yang jelas. Hal ini juga bermaksud untuk mempertegas  identitas nasionalisme yang mereka perjuangkan, organisasi ini kemudian berganti nama Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925.

Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeninging, dll masa itu merupakan masa yang sangat bersejarah bagi bangsa ini, karena pada masa itu, suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu, yang aktor utamanya adalah kaum terpelajar. Hal ini merupakan sejarah pertama Indonesia.

Genarasi 1908 merupakan tokoh yang mampu memupuk jiwa nasionalis terhadap rakyat Indonesia. Sebagai produk kesadaran kolektif yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928, 17 tahun sebelum Indonesia merdeka tercetuslah Sumpah Pemuda yang melintasi imajinasi zamannya. Generasi 28 mampu mengekspresikan semangat perjuangannya dalam bentuk yang nyata. Sumpah pemuda ditandai oleh semangat untuk secara sadar dan cerdas mencita-citakan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Hal ini sekaligus menandai posisi strategis kaum muda dalam perubahan bersekala bangsa. Dalam sejarahpun tercatat dengan jelas bahwa, Revolusi 1945 merupakan revolusi pemuda, yang merupakan klimaks dari longmarch perjuangan bangsa sejak zaman pra-kemerdekaan, sehingga pada tanggal 17 Agustus bangsa ini meneriakkan kemerdekaannya di seluruh penjuru nusantara.

Tugas Pemuda Hari Ini
Torehan perjuangan kaum pemuda yang terekam dalam cacatan sejarah Indonesia, menberikan bukti kuat bahwa generasi pemuda merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan dalam proses penbangunan dan perbaikan bangsa.
 Pemuda selaku kaum intelektual atau agent of change and Social control, merupakan generasi tumpuan bangsa. Tanggung jawab yang diemban sangat berat, selain dituntut untuk produktif dalam hal pengetahuan (knowlage), disisi lain dituntut responsif terhadap persoalan sosial masyarakat. Tiga pokok tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh kaum pemuda, yaitu tanggung jawab intelektual, moral dan sosial. Apabila tiga item tersebut mampu dikuasai dan menjadi kesadaran komonal kaum pemuda, maka sekian problematika kebangsaan akan cepat teratasi, dan menbuat bangsa ini berkembang dengan pesat.
Hari ini, kemerdekaan telah kita rasakan bersama. Hak dan kewajiban sebagai masyarakat bernegara telah terealisasi dengan baik. Perjuangan yang harus dilanjutkan kaum pemuda, bukan berperang melawan penjajah secara fisik. Tetapi, tugas utama adalah mampu melepaskan kendala dan ancaman yang menghambat terhadap kemajuan bangsa.
Kesadaran akan peran dan tanggung jawab di tengah problematika kebangsaan merupakan suatu hal yang sangat penting. Karena bagaimanapun antara pemuda dan masyarakat merupakan satu elemen sosial yang tidak bisa dipisahkan. Pemuda adalah masyarakat terdidik yang harus bertanggungjawab atas realitas kebangsaan, sehingga kepakaan terhadap problematika kebangsaan dan mampu menberikan solusi merupakan tanggung jawab pemuda dengan elemen-elemen bangsa yang lain.
Hal mendasar persoalan kaum pemuda hari ini adalah sekian banyak kaum pemuda yang menpertahankan idealisme untuk mengawal dan mengontrol pemerintah agar berpihak terhadap masyarakat kecil, terkadang setelah memasuki sistem birokrasi pemerintah, mereka lupa terhadap tujuan mereka. Idealisme yang dia teriakkan ditengah-tengah jalan perkotaan terjual demi mendapatkan kekuasaan. Sehingga dalam momentum 101 hari kebangkitan nasional ini merupakan waktu tepat untuk merefleksikan diri, apa dan bagaimana sumbangsih kita terhadap kemajuan bangsa ini. Soekarno pernah berkata  ”Jangan pernah bertanya dan berfikir apa yang negeri ini berikan untuk kita, tapi berfikir dan bertanyalah pada diri kita, apa yang telah kita berikan terhadap negeri ini”.